Traffic Light Pendidikan Riau

Traffic Light Pendidikan Riau

Oleh: Firdaus L.N.

Road Map pendidikan Indonesia menuju terminal jangka panjang 2025 telah rampung dirakit dan diresmikan tahun 2005 meretas sepanjang 8000 km dari Sabang sampai Merauke. Rencana Starategik diknas itu laksana super koridor jalan raya bagi laluan lokomotif pendidikan Indonesia (LPI) menghela anak bangsa Kelas Ekonomi. Para penumpang di kelas Melarat ini diharapkan bisa naik ke Kelas Super Eksekutif; Cerdas dan Kompetitif melalui investasi selama 25 tahun perjalanan. Itu pun kalau selama dalam perjalanan itu, para penumpang kelas ekonomi yang telah bermandi keringat pandai-pandai memanfaatkan waktu untuk membaca dan belajar. Bila tidak, maka gerbong LPI akan tetap tertinggal jauh untuk bergandeng dengan gerbong lokomotif pendidikan dunia (LPD) yang semakin melaju macam pelesit.

Riau baru bisa merakit terminal jangka panjang 2020 untuk laluan lokomotif pendidikan Riau (LPR) yang akan melintasi jembatan Siak dengan masa tempuh yang tersisa 13 tahun. Tentu saja harapan kita adalah agar generasi muda Riau yang masih duduk Kelas Melarat dalam LPR bisa naik martabat ke Kelas Eksekutif selepas menempuh perjalan itu. Karena masih bersebati dengan NKRI, maka tidak ada pilihan bagi Riau kecuali terpaksa menambah laju gerbong LPR agar bertaut dengan LPI. Sehingga nantinya rangkaian gerbong LPR-LPI bisa sama-sama bertaut dengan gerbong LPD menyatu dalam arus tengah (mainstream) super koridor pendidikan mondial.

Persoalan fundamental strategik yang kita hadapi sekarang ini adalah kebanyakan jemaah calon penumpang LPR dari 13 embarkasi Kabupaten/Kota se-Riau masih rabun mencari jalan mengejar gerbong LPR yang telah menanti di hulu Jembatan Siak. Kebanyakan masih rabun, bermakna tidak sedikit yang dah tau jalan ke arah itu. Hanya saja diantara jemaah calon penumpang ini ada yang masih berleha-leha karena yakin perbekalan mereka masih banyak. Tak sedikit pula macam nak tak nak. Penumpang dari ceruk-ceruk kampung yang sama seklai belum pernah ke Bandar nampak kalang-kabut. Bbahkan ada yang panik mencari jalan pintas untuk mengejar LPR yang mulai bergerak perlahan-lahan.

Melalui sedikit pengalaman dalam mengutak-atik traffic light pendidikan, tulisan ini diharapkan dapat memfungsikan kembali lampu di persimpangan jalan pendidikan yang kebanyakan OFF dari pada ON. Kaum terpelajar lazimnya taat dengan isyarat lampu, kecuali pura-pura tak nampak. Yang buta keta tentu tak bisa melihat. Kan ada telinga? Kecuali tuli. Sebetulnya kata Abdul Jalil Hassan (2007) “kita bukan Pekak, cuma Tak Dengar”. Mendengar tidak mudah. Tidak mendengar berarti tidak belajar. Tidak belajar mendengar berarti kita tidak cukup ajar. Tidak cukup ajar berarti kita tidak terpelajar.

Lampu Hijau
Banyak sudah kemajuan yang dialami para penumpang LPR selama hamper a hampir 5 tahun bejalan melintas jembatan sungai yang dulu terdalam di nusantara. Apatah lagi sesekali banyak subsidi hasil penjualan dari sumur-sumur otonomi daerah. IPM Provinsi Riau menunjukkan peningkatan dari 69,0 (2002) menjadi 72,2 ( 2004) dan 73, 6 (2005) bahkan secara nasional menduduki peningkat keenam. Cuma masih kalah dengan Gerbong Lokomotif Pendidikan Yogya “Solo Balapan” yang hanya menggunakan bahan bakar Gudeg. Angka Pastisipasi Kasar tahun 2005 meningkat untuk semua jenjang dibandingkan dengan tahun 2006, bahkan di atas rerata Nasional untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pengangguran dilaporkan dah menyusut dari 13,91persen di tahun 2005 menjadi 10,30% tahun 2007 ini. Pengobatan gratis di Puskesmas dah banyak. Bedug nak mendirikan Sekolah Gratis pun sering bertalu-talu memekakkan telinga.

Travel agent makin sibuk melayani hajatan pada kepala sekolah dan Penghulunya pergi study tour ke luar negeri. Guru yang melarat pun makin berkurang karena insentif tunjangan naik melampui tunjangan Dosen dan Guru besar. Guru yang berdasi plus dengan talipon bimbit macam pulut pun tidak sedikit. Terkadang dah payah nak membedakan mana yang narasumber professor doktor berdasi dengan peserta pencerahan yang datang dari kampong naik ojek. Kepala sekolah dari yang tak pandai melantun karaoke, semakin lihai bersiul macam buluh perindu. Pokoknya dah banyak dah yang berubah. Berpusu-pusu Pengajar serantau telah menikmati program peningkatan kualifikasi. Tidak sedikit pula yang telah mengikuti program pencerahan dan pelatihan yang sebelumnya– sekali haram tak pernah. Dosen-dosen pun dah banyak turun ke kampung-kampung memberi kuliah, sampai-sampai macam tak cukup waktu.
Prestasi siswa dari Provinsi Riau dalam Olympiade Sains juga membanggakan, baik di tingkat nasional maupun internasional dibandingkan dengan sebelum tahun 2004. Prestasi-prestasi olympiade sains di tingkat internasional yang tidak saja mengharumkan nama daerah, akan tetapi juga Indonesia pada umunya masih diraih oleh siswa sekolah pada jenjang SMA/SMK/MA. Sampai tahun 2006, siswa asal Provinsi Riau telah menyumbangkan 3 medali Emas, 2 Perak, 4 Perunggu, dan 1 Honorable Mention di Peringkat internasional. Sedangkan siswa SD/MI dan SMP/MTs baru mampu berkiprash pada Olympiade tingkat Nasional. Sementara di tingkat Nasional, Riau telah meraih 3 medali Emas, 10 Perak, dan 13 Perunggu.

Lampu Kuning
Syahdan, ketika standar markah kelulusan secara nasional dinaikkan, tingkat kelulusan hampir di serata kampung yang sering kenduri tadi turun tangga pula. Pening Ketua Rombongan Jemaah Penumpang LPR dari 13 embarkasi se Riau. Meski dana melimpah tapi kerusakan bangunan sekolah Kelas Berat maupun Kelas Ringan di provinsi nomor dua terkaya se nusantara ini masih di atas 30persen. Lebih dari 20persen guru SD masih berkualifikasi tamat SMA. Guru pendidikan dasar dan menengah di Riau yang lulus sertifikasi hanya 37 persen. Angka Putus Sekolah SD/SMP/SMU menurut Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota Provinsi Riau 2005 cukup besar pada jenjang SD/MI yaitu di atas 10persen.

Singkat cerita, paling tidak ada enam perkara mustahak di bidang pendidikan dasar dan menengah berhasil disenarikan dan telah dibentangkan dalam Symposium Millenium Development Goals (MDGs) Riau di Aryaduta minggu lalu (Firdaus L.N., 2007). Masalah krusial yang mempengaruhi pencapaian target MDGs di provinsi Riau adalah berkaitan dengan masalah: (1) rendahnya mutu sarana pendidikan, (2) tingginya angka putus sekolah pada jenjang sekolah dasar, (3) kurang sesuainya kualifikasi guru, (4) kurang profesionalnya guru, (5) adanya kenderungan bias gender pendidikan untuk anak usia 16-18 tahun, dan (6) Mindsets guru maupun pengelola pendidikan yang kurang mendukung pengembangan diri untuk pendidikan bermutu untuk semua.

Lampu Merah
Jadi, generasi muda Riau yang masih duduk Kelas Melarat dan bersimbah keringat dalam LPR telah menunjukkan adanya kemajuan. Itu karena diantara penumpang tersebut banyak yang memanfaatkan waktu menjelang tiba untuk hal-hal berfaedah; membaca, belajar, berdiskusi, tukar-menukar pengalaman. Hanya saja rombongan para penumpang yang Pembelajar itu jumlahnya kalah banyak dibandingkan dengan yang malas belajar; bahkan dalam rombongan ini tidak sedikit ditemukan yang Pura-pura belajar agar subsidi terus mengalir dari pajak hasil bumi yang sering berkuah ini. Kondektur LPR juga tidak sedikit yang mengantuk dalam mengendalikan laju LPR sehingga terkadang hampir tercampak ke dalam Sungai Siak. Apa lagi ketua kloter dari 13 embarkasi banyak menjulang bendera yang tak jelas dilihat para jemaah penumpang bingung entah mana satu yang mau diikut. Alhasil, LPR semakin jauh tertinggal mengejar LPI, apatah lagi LPD yang terus melaju meretas buana. Dalam konteks ini, sudah saatnya kita mulai bertindak “Cepat dan Selamat” ketimbang terbuai dengan pepatah lapuk “Biar Lambat Asal Selamat”.

Riau hari ini masih terlalu yakin dan bepegang teguh pada kekuatan ekonomi sebagai penggerak utama LPR menuju terminal 2020 (Firdaus L.N & Ashaluddin Jalil, 2007). Padahal sudah banyak pengalaman diberitakan untuk didengar, dipahami, dan diamalkan dengan penuh integritas dan konsisten. Bahwa ketersediaan anggaran yang memadai itu penting adalah baik, tetapi berbuat baik dengan anggaran yang telah tersedia itu jauh lebih penting. Reputasi kekuatan mesin ekonomi Riau sejak Provinsi ini eksis belum terbukti melejitkan daya saingnya dalam pentas dunia. Bahkan Hasil kajian Bappenas (2006) menunjukkan bahwa Indeks daya saing sektor ekonomi berbasis SDA ini malah negatif untuk produk pertambangan, baik untuk Provinisi Riau (-0,10) dan Provinsi Kepulauan Riau (-0,63). Kita persis mengalami “Kutukan Sumber Daya Alam” atau Paradox of Plenty meminjam istilah Joseph E. Stiglitz (2007) si Pemenang Nobel bidang Ekonomi. Kekuatan daya saing di bidang jasa dan produk Bumi Lancang Kuning dalam pasar global ini hanya bisa ditingkatkan dengan sentuhan Iptek sebagai kekuatan pengungkit (leverage). Nilai tambah ini hanya mungkin dihasilkan melalui investasi yang betul-betul dalam pengembangan SDM Riau melalui Pendidikan. Sumberdaya manusia adalah satu-satunya asset yang dapat ditingkatkan nilainya (Maxwell, 2007). Enam puluh persen kemajuan pembangunan ekonomi pembangunan negara maju adalah hasil kontribusi SDM ketimbang SDA yang hanya menyumbang sekitar 20persen.

Celakanya Pendidikan Riau selama ini belum berhasil mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalani kehidupan secara arif dan bertanggungjawab. Pendidikan Riau selama ini sekedar mengantarkan generasi muda Riau kepada pemahaman abstraksi-abstraksi kehidupan melalui penguasaan berbagai bidang pengetahuan, sama sekali masih jauh dari memberikan pemahaman kepada mereka tentang Makna kehidupan itu sendiri. Maka benarlah apa yang disampaikan oleh Begawan Pendidikan Indonesia Prof. Dr Mochtar Buchori dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IX di Mercure Convention Center 20-22 Nopember 2007 bahwa “Dimana pun di dunia ini, pendidikan selalu berupaya untuk mempersiapkan generasi muda bagi kehidupan; untuk membimbing generasi muda menjalani dan memahmi kehidupan”. Realitas Riau hari ini memperlihatkan bahwa kebanyakan Guru sudah merasa puas bila murid telah Tahu sesuatu dengan banyak (mengajar) tanpa berupaya keras membantu murid memahami Apa yang telah diketahuinya itu (mendidik). Akibatnya adalah pengetahuan yang tidak bermakna kian menumpuk secara akumulatif dan cepat, sementara jumlah pengetahuan yang betul-betul bermakna semakin menyusut. Anasir terkahir inilah justru krusial yang akan memberikan nilai tambah kepada SDM yang handal bersaing.

Aksi-aksi yang dikemas melalui beragam program pembangunan pendidikan Riau mencerminkan cara pemecahan masalah yang bersifat reaktif dengan efek dangkal yang seharusnya dilakukan melalaui pemehaman Visi bersama (shared vision) dengan efek mendalam. Sudah terlalu banyak kita memiliki Sekolah Pintar , Sekolah Unggul, Sekolah Binaan Khusus, Sekolah Plus yang memegang teguh tradisi belajar sekedar tahu tetapi masih terlalu sedikit kita memiliki Sekolah Cerdas yang membangun tradisi cemerlang dengan belajar memahami untuk menjadi manusia Utuh (holistic). Alhasil, tidak akan ada reformasi pendidikan Riau tanpa ada upaya mengubah cara pandang (Mindsets) kita terhadap hakikat pendidikan itu sendiri secara universal.

Pekerjaan merancang dan menata ulang koridor pendidikan Riau ke depan sehingga bisa masuk dalam mainstream pendidikan Nasional dan Dunia diyakini akan menghasilkan perubahan mendasar yang akan mengubah wajah dan watak Pendidikan Riau. Bangunlah Jiwanya terlebih dahulu, baru setelah itu Badannya. Pendidikan Riau yang hebat bukanlah gedung yang megah, tetapi sikap manusia penghuni gedung itu. Reformasi cara pandang pelaku pendidikan Riau akan sangat menentukan keberhasilan upaya transformasi SDM Riau menuju Renaissance Pendidikan Riau 2020. Wallahualam bissawaf!

Prof. Dr. Firdaus L.N., M.Si.
Guru Besar FKIP dan Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan
Universitas Riau

Leave a comment